PERSEKUTUAN
HUKUM ADAT ABUNG
(Dalam Perkembangan dari Masa ke Masa)
OLEH:
HILMAN HADIKUSUMA, S.H.
1. PENDAHULUAN
Sejak masa
sebelum perang dunia kedua kalau ada para ahli ilmu pengetahuan yang datang di
daerah Lampung maka salah satu objek peneltiannya ialah mengenai persekutuan
hukum adat Abung, suatu persekutuan hukum adat yang hingga kini dapat dikatakan
masih tetap dan teratur, mempunyai kekuasaan pemerintah kerabat dengan tata
adat dan alat perlengkapan adat yang terus berlaku dengan menyesuaikan menurut
perkembangan zaman.
Sesungguhnya
kalau orang melakukan penelitian tentang masyarakat Lampung tanpa mempelajari
persekutuan hukum adat Abung maka penelitian itu belum sempurna, sebaliknya
apabila telah diketahui tentang persekutuan hukum adat Abung, maka tidaklah
sukar untuk mempelajari persekutuan hukum adat Lampung yang lain. Misalnya
persekutuan hukum adat Pubian, Way Kanan/Sungkai, Tulang Bawang dan Peminggir
termasuk Jelma Daya Komering sampai Kayu Agung.
Apabila
para cendikiawan Indonesia katakan baru sejak masa kemerdekaan mulai mencoba
melakukan penelitian sendiri. Misalnya yang dilakukan oleh para mahasiswa dan
sarjana yang berasal dari daerah Lampung ini, maka lain halnya dengan para ahli
barat yang tidak henti-hentinya melakukan penelitian di daerah ini untuk
kepentingan ilmu pengetahuan.
Uraian
tentang Lampung dimasa sebelum perang dunia ke-dua, banyak kita dapati didalam
beberapa laporan pemerintahan, berkas hukum adat, bahkan ada yang menulis buku-buku
khusus tentang Lampung, misalnya yang ditulis oleh Dr.R.Broersma “De Lampongsche Districten” (1916),
Dr.J,W.Van Royen “Nota Over de
Lampongesche Merga’s”, Hissink “Het
Pepadonwezen”, Mr.H.Guyt, “Hoodlijnen
van het huwelijks recht in de lampongs” (1937),dan yang khusus tentang Abung
dimasa sebelum perang dunia ke-dua ialah P.J.Vet “Het Landschap Aboeng En De Op Sumatra”,dan setelah perang dunia ke-dua
ialah F.W.Funkie “Orang Abung, Volkstum
Sud Sumatra im Wandel”, Leiden (1958).
Keadaan
masyarakat Lampung yang terbagi dalam masyarakat beradat Pepadun Peminggir,
yang berbahasa “A” dan yang berbahasa “O” Sudah
kami uraikan pada tulisan tentang persekutuan hukum adat Lampung Pubian Telu Suku (lihat “Bunga
Rampai Adat Budaya” Risalah Triwulan Fakultas Hukum Unila, no.1, th.1, 1973).
Pada uraian ini akan kami coba menguraikan persekutuan hukum adat mengenai Umpu
Asal, Ulun Lampung, Murgou Abung Trio Diso, Abung Siwo Migou, dan Marga-Marga Abung
Teritorial.
2. Umpu Asal
Dapat
dikatakan tidak ada orang Lampung yang menyatakan bahwa ia berasal dari
bekas kerajaan Tulang Bawang yang dilukiskan Krom (Prof.Dr.N.J.Krom,”Zaman Hindu”, terj.Arif Effendi,
Cet.ke-2, Pembangunan Djakarta, Hal.48) yang pernah ada di Lampung sekitar abad
ke-tujuh. Tetapi kebanyakan dari orang-orang tua kalau ditanya menyatakan bahwa
Poyang mereka berasal dari Sekala Be’rak, Daerah mana sekarang terletak di
daerah Kecamatan Balik Bukit Liwa Kabupaten Lampung Utara (sebelum menjadi Kabupaten
Lampung Barat). Dari nama-nama tempat yang hingga sekarang masih disebut-sebut
seperti “PUNCAK” di daerah Ex Marga Kembahang, “BULAN” di Canggiring, dapatlah
diperkirakan kebenaran dari cerita-cerita rakyat tentang kampung asal orang Lampung
di zaman purba terletak di sekitar dataran tinggi Belalau itu (Gunung Pesagi).
Menurut
cerita rakyat dari daerah Belalau bahwa perkampungan orang Lampung yang pertama
di Sekala Be’rak diperkirakan setidak-tidaknya sudah ada pada abad 14 yang
penduduknya disebut “ORANG TUMI” yang menganut kepercayaan Animisme Hindu
Bhairawa, pimpinan mereka adalah seorang wanita yang disebut Ratu Sekarmong
yang terikat perkumpulan memuja benda sakti “LEMASA KEPAMPANG” atau “MELASA
KEPAMPANG”, yaitu sebangsa pohon nangka dengan sebagian daun dan buahnya
mengandung racun dan sebagian tawar. Kelompok Tumi ini kemudian dapat
dipengauhi oleh Empat Umpu Pembawa Islam (?), yaitu Umpu Belunguh, Umpu Pernong
(Kenyangan, Umpu Nyerupa,dan Umpu Bejalan Diway. Dikatakan bahwa mereka ini
bersahabat dengan “PUTRI BULAN”.
Cerita lain
mengatakan (Oesman sjarief,1972) bahwa di Sekala Be’rak itu dahulu pada mulanya
ada dua orang Poyang, yaitu MAKDUM NGEMULA JADI dan MAKDUM NGEMULA SAKTI. Salah
satu dari Poyang ini menurunkan “RAINA RAINI” yang kemudian menurunkan Poyang
Bernama INDAR GAJAH,PAK LANG, SIKIN, BELUNGUH Dan INDARWATI. Poyang asal ini
pun dikatakan berasal dari Pagaruyung berdasarkan uraian kitab “KUNTARA RAJA
NITI” (Pegangan Raja Mengatur).
Apabila
kedua cerita diatas kami hubungkan maka kemungkinan akan tergambar umpu-umpu
asal sebagai berikut:
No
|
Nama poyang
|
Gelar/sebutan
|
Kedudukan di sekala be’rak
|
Poyang kebuayan
|
1
|
Indar Gajah
|
Umpu Bejalan DiWay
|
Puncak
|
Abung
|
2
|
Pak Lang
|
Umpu Pernong (Kenyangan)
|
Hanibung
|
Pubian
|
3
|
Sikin
|
Umpu Nyerupa
|
Sukau
|
Jelma daya
|
4
|
Belunguh
|
Umpu Belunguh
|
Kenali
|
Peminggir
|
5
|
Indarwati
|
Putri Bulan
|
Canggiring
|
Tulang Bawang
|
Jika kita
ikuti uraian Oesman Sjarief maka Indarwati adalah cikal bakal keturunan orang
Rejang Bengkulu, dalam hal ini saya belum sependapat sebaiknya diadakan penelitian
lebih dahulu. Oleh karena kalau dilihat dari sejarah Pagaruyung, dimana Kuntara
Raja Niti sendiri mengatakan bahwa Poyang-Poyang itu berasal dari Pagaruyung,
maka menurut hemat kami bukanlah orang-orang Rejang yang berpoyang pada
Indarwati (nama yang masih diragukan) tetapi sebaliknya Umpu-Umpu itu sebagian
berasal dari Pagaruyung dan sebagian dari DHARMACRAYA yang pernah menetap di
Rejang mengerjakan tambang emas bersama Datuk Parpatih Nan Sebatang dari Laras
Bodi Caniago Pagaruyung (lihat A.Dt.Batuah-A.Dt.Madjoindo, Tambo Minangkabau,
Balai Pustaka, Djakarta,1956,hal.41).
Untuk
sementara INDARWATI kami samakan dengan PUTRI BULAN yang kemudian menjadi cikal
bakal keturunan Ex Marga Buay Bolan yang antara lain terdapat di daerah Megou
Pak Tulang Bawang. Menurut cerita rakyat dikatakan bahwa putri bulan karena
satu dan lain hal menyerahkan tanah kedudukannya di Cenggiring kepada Umpu Pernong,
kemudian ia beserta sebagian kerabatnya pergi menuju arah matahari terbit, Tulang
Bawang, daerah mana pada sekitar abad ke 15 merupakan pasar perdagangan lada
yang banyak didatangi pedagang-pedagang asing dari luar negeri.
Cerita lain
menyatakan bahwa pernah terjadi pertengkaran antara kerabat Pubian yang
dipimpin oleh Rakian ayah Sibrani dan cucu dari Naga berisang dengan kerabat Abung
di Kaoer Bengkulu, akibat pertentangan ini maka kerabat Abung meninggalkan Kaoer
dan pindah ke tepi Way selabung yang mengalir dari Danau Ranau dam bermuara di
Muaradua Komering Ulu. Di Kaoer dikatakan masih ada batu-batu bekas tempat
kediaman kerabat Abung, demikian diuraikan Van Royen (Dr.J.W. Van Royen, Nota Over De Lampoengsche Merga’s Hoofdstruk
I, Paragraf 1).
Lain pula
apa yang dicatat oleh Broersma (Dr.R.Broersma, De Lampoengsche Districten, 1916, hal.17), ia mengatakan bahwa Du Bois (bekas Residen Lampung yang pertama tahun 1834 pernah
menemukan sebuah buku yang berjudul “Sadjarah Madjapahit”), didalam buku itu
dikatakan bahwa tuhan telah menurunkan orang pertama ke muka bumi yaitu SANG
DEWA SENEMBAHAN dan WIDODARI SIMOEHOEN, kedua dewa inilah yang menurunkan
SI-DJAWA Ratu Madjapahit, SI-PASOENDAYANG Ratu Padjadjaran dan SI-LAMPONG Ratu
Balau.
Lampong
artinya “OP HET WATER DRIJVEND” (Bejalan DiWay = Berjalan di Atas Air),
salah satu dari keturunan Si-Lampong adalah PANGERAN KEMBAHANG yang kemudian
menetap dengan kerabatnya di sekala be’rak di Belalau. Dari kerabat asal ini
kemudian terjadi perpisahan kerabat, dimana sebagian pindah ke Muaradua,
setelah itu pindah lagi menuju arah selatan melalui Sungai Umpu menuju arah
Bumi Agung, yang sebagian lagi dibawah pimpinan Minak Pemuka Bagindo menuju
arah bukit Dempo (Di selatan Padangratu), kemudian dari sini berpencar lagi
dari Tjango ke daerah Abung sekarang.
3. ULUN ABUNG
Kami
berpendapat bahwa yang disebut Ulun Abung (Orang Abung) adalah semua orang Lampung
yang menarik cikal bakal keturunannya dari RATU DIPUNCAK yang asal usulnya
bukan dari langit, dan bukan pula dari pagaruyung tetapi berasal dari
DHARMACRA. Ya,suatu Kerajaan Melayu(pecahan Sriwijaya) daerah penghasil lada
yang kemudian pecah karena serangan Singosari pada tahun 1275. Sifat dan watak
yang keras dalam mempertahankan adat istiadat leluhur menyebabkan mereka
kemudian meninggalkan Sekala Be’rak untuk tidak lebih banyak dipengaruhi ajaran
Islam dari orang-orang asal Pagaruyung yang menanamkan pengaruhnya di
Sekala Be’rak disekitar Abad 13.
Penghulu
kerabat Abung ini suka merantau menyusuri sungai-sungai oleh karenanya ia
disebut UMPU BEJALAN DIWAY. Sebagian dari kerabat ini pernah menetap di Way Selabung
Muaradua, oleh karenanya oleh orang luar mereka disebut Orang Abung (Orang dari Selabung) dan orang Lampung
sendiri menyebut ULUN ABUNG. Dari selabung kemudian mereka pindah ke Komering
Ulu dan membuka daerah di Martapura
sekarang, dibawah pimpinan MINAK RIO BAGINDO, pada akhir abad 14.
Besar
kemungkinan sebagai akibat kerusuhan yang terjadi di Palembang yang dilakukan
oleh kepala rampok cina HOK KIAN CENCU YI pada tahun 1405 (Prof. Dr. Slamet
Muljono, “Runtuhnya keradjaaan Hindu Djawa dan timbulnya Negara-Negara Islam
di nusantara”, Bhratara Djakarta 1968,hlm.70) maka kerabat Abung ini
menyingkir kearah Bukit Barisan dan mendirikan perkampungannya yang pertama di
CANGUK GATCAK (Cahya Negeri) sebagai pusat kependudukan baru bagi kekuasaan
persekutuan kerabat Keratuan Dipuncak dibawah pimpinan MINAK PEMUKA BAGINDO.
Dengan berkembangnya pusat kedudukan Punyimbang (anak tertua lelaki) Kebuayan
Umpu Bejalan Diway ini maka semua anggota kerabat mereka, antara lain yang
telah membuka teratak bersama-sama orang Pubian disekitar Bukit Dempo (di
selatan hulu Way Seputih Padang Ratu dan Way Pubian) kesemuanya berkumpul di
Canguk.
Dilihat
dari perlengkapan adat Pepadun yang mereka pakai maka sisa zaman Hindu
Dharmacraya yang mereka warisi dan banggakan ialah KAYU ARA/ARO dan SESAKA
(sandaran duduk bagi Ratu). Kemudian dikarenakan hubungan kerabat ini dengan
kekuasaan Islam Cina Palembang dibawah pimpinan LAKSAMAN CENG HO (lihat Slamet
Muljono,op.cit.hlm.89) sebagai pengakuan atas kedudukan Minak Pemuka Bagindo
sebagai pemimpin sukunya, ialah didapatnya PAYUNG KUNING yang dizaman itu biasa
diberikan Kaisar Islam YUNG LO kepada para utusan negara-negara Asia Tenggara
yang datang di negeri Cina secara bersahabat. Kedudukan Payung Kuning ini
menurut hukum adat Pepadun dikemudian hari adalah tanda kebesaran Punyimbang Pepadun
Tiyuh atau Kepunyimbangan Bumi.
Dimasa
kekuasaan pemerintahan Minak Pemuka Bagindo sifat-sifat Ulun Lampung yang suka
menjelajah sepanjang sungai (Bejalan Diway) sudah agak berkurang, sebagian
besar dari kerabat ini sudah memusatkan diri berkumpul dalam bentuk teratak
perkampungan, dengan sistem pencaharian membuka pertanian peladangan liar
ditepi-tepi sungai, terutama di Way Rarem dan Way Abung.
Sistem
pertanian peladangan liar yang memburu hutan menimbulkan pengakuan hak Ulayat Kerabat
(Murgou) Abung, tindakan penguasaan tanah ini seringkali berakibat timbulnya
perselisihan mengenai penguasaan tanah diantara kerabat Abung sendiri, antara
kerabat Abung dan kerabat-kerabat Kebuayan Lampung yang lain, antara lain dari
Keratuan Pemanggilan dan Keratuan Balau.
Perpecahan
diantara mereka merugikan kehidupan mereka sendiri, apalagi pada masa itu
daerah pedalaman Lampung seringkali dimasuki BAJAU (perampok) dari laut Jawa
untuk melakukan perampasan hasil bumi seperti lada dan hasil hutan lainnya,
baik dipeladangan maupun diperkampungan mereka. Untuk mengatasi kelemahan ini
maka mereka Punyimbang-Punyimbang Kebuayan bersatu mufakat menetapkan bahwa
penguasaan tanah di daerah Lampung hanya terdiri dari Empat besar, yaitu:
1.
RATU DI PUNCAK, adalah penguasa tanah hak Ulayat
Murgou Abung, di Way Abung , Way Rarem, dan Way Seputih.
2.
RATU PEMANGGILAN, adalah penguasa tanah hak Ulayat
Murgou (Paksi-Paksi) Pubian, di bagian Utara, Way Sekampung .
3.
RATU DI BALAU, adalah penguasa tanah hak Ulayat
Murgou (Paksi-Paksi) Pubian, di bagian Selatan, Way Sekampung.
4.
RATU DI
PUGUNG, adalah penguasa tanah hak Ulayat Murgou (Bandar) Pugung,
Sekampung Ilir.
Pengaruh hak Ulayat Murgou Abung
pada masa itu meliputi sebagian besar daerah Lampung Utara, termasuk Way Kanan
sampai Way Lempuing dan Way Tulang Bawang.
Anggapan pengaruh hak Ulayat Keratuan Di Puncak ini didasarkan
kewibawaan magis religious dari Minak Pemuka Bagindo selaku Marga Raja yang
diutamakan sebagai orang pertama diantara yang sama (Primus Interpareh) diantara semua orang Lampung yang menganggap ada
hubungan kerabat dengan Ratu Di Puncak baik karena keturunan langsung, maupun
karena Mewari (Adopsi) ataupun Perkawinan.
Pedoman dasar dalam melaksanakan
pemerintahan kerabat yang dikemudian hari merupakan kepribadian atau Filsafah
hidup orang Lampung pada umumnya, adalah sebagaimana digariskan zaman Ratu Di
Puncak yang disebut PI’IIL PESENGGIRI, dalam untaian kata-kata sebagai berikut:
Tando nou ulun lappung, wat pi’iil
pesenggiri,
You balak pi’iil, ngemik maluw,
ngigou diri,
Ulah nou liyuw you bejuluk you
be-adek,
Iling mewariy ngejuk ngakuk nemui
nyimbah,
Ulah nou pandai you nengah you nyappur,
Ngubali jejamou, begawiy balak,
sakai sambaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar