BAHASA LAMPUNG TELAH MATI...?
Mungkin terlalu dini untuk dikatakan demikian. Dewasa ini banyak sekali kalangan yang mengklaim bahwa bahasa Lampung akan punah dalam waktu kurang lebih tujuh puluh tahun kedepan. Faktanya, saat ini Lampung Barat masih menjadi kiblat bagi bertahannya bahasa, tradisi, seni, dan budaya Lampung. Dan tujuh puluh tahun adalah waktu yang sangat singkat untuk hilangnya semua itu dari Lampung Barat. Kontras memang, tapi itulah informasi.
Ada 13 bahasa daerah yang penggunanya bahasanya lebih dari 1 juta orang di Indonesia saat ini yaitu; Jawa, Sunda, Minangkabau, Madura, Bugis, Makassar, Batak, Melayu, Aceh, Lampung, Rejang, Sasak, dan Bali [Okezone.Com]. Tidak ada bahasa Palembang atau bahasa Betawi disana. Lalu apakah kecemasan berlebih kita selama ini penting? Toh penulis belum pernah mendengar adanya opini bahwa “Bahasa Palembang terancam punah”.
Yang mestinya kita lakukan sebagai Warga Lampung yang baik adalah bagaimana membiasakan berbahasa Lampung yang dimulai dari diri sendiri. Bukan “latah” mengikuti pendapat tentang bahasa Lampung yang selama ini subyektif, karena hanya melihat perkembangan bahasa Lampung di kota Bandar Lampung saja atau tidak keseluruhan daerah diLampung.
Bandar Lampung sebagai kota dengan populasi tertinggi ke-9 di Negara ini [Wikipedia.Com] adalah kota yang berpenduduk heterogen dengan mobilitas tinggi. Ada beberapa persamaan kota ini dengan Jakarta [Ibukota Indonesia], Pertama; penduduk Bandar Lampung dan Jakarta berasal dari Etnis heterogen. Kedua; tidak pernah terjadi perselisihan antar suku [penduduk yang terbuka, cerdas dan saling menerima). Ketiga; Bandar Lampung dan Jakarta adalah kota baru yang tidak memiliki banyak peninggalan seni dan budaya daerah. Karena sebagaimana kita tahu, bahwa Kepaksian Sekala Brak terletak di dataran tinggi kaki Gunung Pesagi atau Lampung Barat saat ini [Diandra Natakembahang S.H : 2006, Kepaksian Sekala Brak : Wikipedia.Com].
Berbeda dengan Bandar Lampung, Lampung Barat khususnya Liwa, Kembahang, Suoh, Batu Brak, Sukau, Ranau, Belalau, Sekincau dan Krui adalah daerah pusat bahasa dan seni budaya Lampung. Dalam kesehariannya, masyarakat Sekala Brak selalu menggunakan bahasa Lampung untuk berbincang-bincang atau bertegur sapa. “Haga mid dipa Alak?”, “Singgah pai Mangah!”, “Mid dipa Kantek?” adalah beberapa contoh kalimat yang biasa dipakai warga Sekala Brak dalam menegur teman atau saudara. Juga hal-hal konvensional dan Tradisi Adat lain sepeti Sekura, Jebus, Muwayak, Bedikekh, Nyambai, Lempar Selendang, Nayuh [Upacara Pernikahan, Penetahan Adoq dan Khitanan] dan lain sebagainya merupakan bukti eksistensi bahwa masyarakat Sekala Brak masih terus-menerus melestarikan Bahasa, Seni dan Budaya Lampung.
Ada 13 bahasa daerah yang penggunanya bahasanya lebih dari 1 juta orang di Indonesia saat ini yaitu; Jawa, Sunda, Minangkabau, Madura, Bugis, Makassar, Batak, Melayu, Aceh, Lampung, Rejang, Sasak, dan Bali [Okezone.Com]. Tidak ada bahasa Palembang atau bahasa Betawi disana. Lalu apakah kecemasan berlebih kita selama ini penting? Toh penulis belum pernah mendengar adanya opini bahwa “Bahasa Palembang terancam punah”.
Yang mestinya kita lakukan sebagai Warga Lampung yang baik adalah bagaimana membiasakan berbahasa Lampung yang dimulai dari diri sendiri. Bukan “latah” mengikuti pendapat tentang bahasa Lampung yang selama ini subyektif, karena hanya melihat perkembangan bahasa Lampung di kota Bandar Lampung saja atau tidak keseluruhan daerah diLampung.
Bandar Lampung sebagai kota dengan populasi tertinggi ke-9 di Negara ini [Wikipedia.Com] adalah kota yang berpenduduk heterogen dengan mobilitas tinggi. Ada beberapa persamaan kota ini dengan Jakarta [Ibukota Indonesia], Pertama; penduduk Bandar Lampung dan Jakarta berasal dari Etnis heterogen. Kedua; tidak pernah terjadi perselisihan antar suku [penduduk yang terbuka, cerdas dan saling menerima). Ketiga; Bandar Lampung dan Jakarta adalah kota baru yang tidak memiliki banyak peninggalan seni dan budaya daerah. Karena sebagaimana kita tahu, bahwa Kepaksian Sekala Brak terletak di dataran tinggi kaki Gunung Pesagi atau Lampung Barat saat ini [Diandra Natakembahang S.H : 2006, Kepaksian Sekala Brak : Wikipedia.Com].
Berbeda dengan Bandar Lampung, Lampung Barat khususnya Liwa, Kembahang, Suoh, Batu Brak, Sukau, Ranau, Belalau, Sekincau dan Krui adalah daerah pusat bahasa dan seni budaya Lampung. Dalam kesehariannya, masyarakat Sekala Brak selalu menggunakan bahasa Lampung untuk berbincang-bincang atau bertegur sapa. “Haga mid dipa Alak?”, “Singgah pai Mangah!”, “Mid dipa Kantek?” adalah beberapa contoh kalimat yang biasa dipakai warga Sekala Brak dalam menegur teman atau saudara. Juga hal-hal konvensional dan Tradisi Adat lain sepeti Sekura, Jebus, Muwayak, Bedikekh, Nyambai, Lempar Selendang, Nayuh [Upacara Pernikahan, Penetahan Adoq dan Khitanan] dan lain sebagainya merupakan bukti eksistensi bahwa masyarakat Sekala Brak masih terus-menerus melestarikan Bahasa, Seni dan Budaya Lampung.
Jadi tidaklah obyektif bila kita semua beranggapan bahwa masyarakat Lampung sudah tidak bangga dan bahkan cenderung meninggalkan Bahasa dan Budayanya. Karena orang-orang non Lampung mengira Provinsi ini sama dengan Kalimantan Selatan dengan Banjarmasinnya, Sumatra Barat dengan Padangnya, Sulawesi Selatan dengan Makassarnya, Yogyakarta Yogyanya, dan lain-lain yang ibukota provinsinya sekaligus pusat peninggalan Budaya dan Kerajaan.
Faktanya tidak! Ingat, Sekala Brak terletak di Lampung Barat, bukan Bandar Lampung. Bandar Lampung hanya bagian kecil dari “Lampung” yang selama ini kita tahu, dan tidak mewakili segalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar